skip to main |
skip to sidebar
Oleh : Yudha Setya A.N.
Mentari senja,
jingga indah, nan pilu menikam hati
Kala ia mencabut nyawa sang surya,
layaknya mencekik nafas cintaku
Memisahkan, menjejak sebuah rindu
antara aku dengan dia
Maret 2009
Oleh : Kemala P.
Maya kini melingkar dipahat pelangi
sambil membual di alun melodi
fikirku bagai sisipan padi
yang kian lemah lunturkan harap
Langkahnya kemudian menemui seikat gabah berisi
menggarap lalu meramping
mengusap kemudian terbaring
dan menjanjikan kabar suatu hari di bawah guratan padi
Musim kering kemarin pagi
menunggu aral retak terpahat janji
untuk lupakan hari ini
dan bersaksi kembali menjadi sufi di tahun ini
Musim kacang kemarin pagi
menutup semua sesal, menyambit semua bebal
dan menggarap satu perihal
tentang kelam merangkum massal
dan adanya kapten di tengah koral
Musim bunga esok menanti
tinggallah membayar suatu yang pasti
dan membaca mahar lakonnya dahulu
yang mungkin beku berbasis canda yang lalu
Aku yang sama memaksa jua
dan harapkan kata yang tak lagi menjadi sebuah jatah melata
dan menjunjung adanya batasan-batasan di atas perangaiku
Aku yang sama telah lanjutkan satu kata dari hidupku
untuk kembali bertatapan dengan langit
dan tak kembali menyerukan kosongnya angin di dalam bui berkaki
seperti bumi,
salah langkah bisa mati
terhenyak ciptakan sepi
Aku yang smaa ada dimana-mana
merantau kembali ke alunan, lalu merangkap menjadi muda
sambil meretas sesembahan alam yang buatku luluh
ada yang berapat dan berkenaan pergi
buatku melepuh menjadi tawanan abadi
dan tetap tahu murninya diri lesu tak akan mati
dan segala yang abadi
kontras melebur diri di tengan dentuman sakti
Juli 2008
Oleh : Kemala P.
Langkah kecil sesosok cahaya
menapak perlahan memaksa tawa
menerawang jauh ke surya
sampai-sampai angin terbawa
Bulat sangkar yang ia dekap
sepanjang jalan sambil mengusap harap
akan adanya deru tangis yang berderap
di kala senja adik tertangkap
Mencari hangat di tengah malam
langkah kecilnya kembali tetata
diamkan adik yang kian kelam
sampai langkahnya lesu terbata
Juli 2008
Oleh : Kemala P.
Kemarin di belakang rumah ada sampah
membentang luas menutup tanah
Kemarin di depan rumah ada rumah
sambil mengintai sampah-sampah
Baunya seperti tak bertuan
kemana angin disana ketahuan
Rupanya seperti tak berjasa
kemana orang bisa, sampah pun tersisa
Esok ku ingin di belakang telah sepi
seperti mimpi malam ini
bila esok ku lihat masih begini
tinggalkan saja bumi ini
Juni 2008
Oleh : Kemala P.
Sampan itu sudah jauh
tad dapat terlihat
tak jua tersusul
Sampan itu bawakan berita
kabar angin yang bercerita
tentang sendunya cerita wanita
yang hina hempaskan tahta
Sampan yang kian berlabuh
yang hampir menebar aib tertabuh
kini sampai ke tempat jauh
Sampan itu mengumpat sudah
ceritakan kabar yang telah nyata
hingga kini aib merekah
sampai sang wanita menutup mata
Juni 2008
Oleh : Kemala P.
Katakanlah...
wahai bibir yang mencinta senyuman
dimana engkau simpan semua memori ?
akan adanya bualan tentang senyum
namun terlihat fana
dimana ada jentikan tawa
yang seringkali mengiringi riangmu itu
Wahai bibir yang senantiasa merindu tawa
dapatkah engkau ciptakan sendiri tawamu itu ?
dapatkah engkau buat reindumu tertawa untukmu?
Sadarilah..
mengertilah..
cinta dan rindumu sesungguhnya ada di dalam dirimu
Mei 2008
Oleh : Kemala P.
Temanku ini kerap jumpa khayal
terpetik layaknya rerumputan di awang sepi
mendengkur bersuar jeritan gerutu
Semusim ini terpapar di peluhnya
ada dan tiadanya rasa cinta
gemah ripahnya suka duka
seakan butuh sang temaram
sesungguhnya memang nyata diri mereka
menaungi teman setia
menghapus kumparan duka
sekelebat mengerjapkan ia
Sudikah ia selalu ku tempa ?
melawan hina hadapi bersama
Sudikah ia menyimpan rasa ?
pelepahnya hanya diri ini yang sesungguhnya hina
April 2008